Ayah?? Di masa itu panggilan “Ayah” adalah panggilan yang digunakan oleh orang-orang kelas menengah keatas, di keluarga kami aku menyebut sosok ayah dengan sebutan “Bapak”. Bapak adalah sosok orang tua yang berbeda dengan ibu, sejak aku kecil, bapak lebih sering menyembunyikan rasa sayang yang ia miliki. Bapak lebih sering mengungkapkan rasa sayangnya dengan memberiku tugas dan tanggungjawab, hal ini ia lakukan tidak lain dan tidak bukan untuk melatihku untuk menjalani kehidupan tanpanya, menjadi sosok yang mandiri dan mampu bertahan dalam segala medan seperti sosoknya.

Bapak sering berkata bahwa dunia tidak bisa ditaklukkan hanya dengan santai belaka, kerja keras tentu menjadi kunci sebuah kejayaan, Dunia tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada kita, tapi kita dituntut untuk peduli dengan apa yang terjadi pada dunia. aku bahkan sempat terdiam memahami kata-kata yang keluar dari mulut bapak, aku sempat menanyakannya namun bapak justru tertawa dan mengingatkanku bahwa selain bekerja keras aku juga harus ingat dengan Tuhan yang maha memberi petunjuk.

Tuhan itu maha pemberi petunjuk, tapi jika kita tidak mencari petunjuk itu maka kita juga akan tersesat, pikirku. Aku selalu berpikir keras akan hal ini, hingga saat ini kurasakan benar apa yang dikatakan oleh bapak, dunia tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada kita, namun kita dituntut untuk peduli dengan kondisi dunia, ini terjadi sekarang, apabila kita tidak memperdulikan dunia maka sama saja kita tidak memperdulikan diri kita sendiri, mengingat dunia merupakan tangga yang kita tapaki untuk menuju puncak kejayaan. Apabila tangga itu rapuh maka akan membahayakan langkah kaki kita, tapi apabila tangga itu kokoh maka langkah kita ke puncak akan semakin mudah.

Bapak hanya pemuda lulusan sekolah menengah pertama, sejak usia mudanya ia menghabiskan waktu untuk merantau di kota orang. Hal ini tentu saja sudah menjadi suatu yang lumrah. Bapak selalu mengajarkanku untuk menjadi orang yang multitalenta, mampu melakukan apapun. Ini tidak memubuatku heran, sosoknya yang ulet membuatku harus mengimbanginya, aku selalu dituntut untuk bisa mengerjakan apa yang ia kerjakan, itu suatu yang membebani untukku. Terkadang aku kesal dengan bapak, lantaran harus menekanku untuk selalu bekerja keras, namun semua ini terjawab ketika aku berangkat merantau dan hidup di kota orang.

Aku merasakan bahwa inilah wujud kasih sayang bapak, ia memperlakukanku layaknya tawanan perang, bukan untuk menghukumku juga bukan untuk memeras keringatku, melainkan untuk melatihku agar siap menghadapi kenyataan dunia. Bapak berpikir bahwa aku lebih baik menangis dan marah di hadapannya, daripada harus menangis dan memaki-maki dunia lantaran aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Bapak adalah didikan langsung dari Mbah Djani, keluarga kakek dan nenek juga bukan dari keluarga berada maka dari itu kakek selalu menanamkan jiwa kerja keras dalam diri bapakku. Kata bapak, Kakek dan nenek seringkali berseteru dengan saudaranya hanya karena masalah perekonomian. Aku tidak mengetahui pasti akan hal itu, karena pada saat itu bapak masih perjaka dan akupun belum ada, aku bahkan tidak banyak mengenal tentang silsilah keluarga termasuk saudara-saudara dari kakek dan nenek. sehingga aku sering menyimpulkan bahwa tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka.

Berdansa dengan keramaian kota bukan hal yang asing untuk bapak, karena memang sosok bapak yang aku miliki ini dibesarkan oleh keramaian kota. umumnya manusia akan dibesarkan dengan air susu ibu, tapi tidak dengan bapakku aku seringkali menyebutnya sebagai sosok yang dibesarkan dengan air keringat.