PELAJARAN MALAM TAKBIR

 



Tulisan ini saya buat khusus untuk introspeksi diri saya, sebagai pengingat bahwasanya tidak semua orang yang belum berbuat baik itu berarti orang jahat. Bisa jadi merekalah sejatinya orang yang merenungi untuk apa hakikat berbuat kebaikan.

Setelah mengikuti pawai takbir, saya menyempatkan diri singgah ke salah satu penjual pentol di area taman kota, tempat biasa saya menenangkan diri dan terkadang juga menulis. Ditengah hiruk-pikuk lalu-lalang kendaraan pulang dari takbir keliling merayakan datangnya hari raya idul adha, penjual pentol ini justru sangat santai duduk dengan sebatang rokok ditangannya.

Saya mendatanginya, lantaran sudah akrab saling mengenal jadi saya tak sungkan lagi untuk langsung membuka panci pentolnya. Sembari menusuk biji-biji pentol tersebut aku bertanya padanya

“anak sampean ngaji di dekat rumah saya itu ya cak?” cak adalah panggilan untuk kakak laki-laki di daerah jawa timur, karena kami sama-sama perantau, kesamaan daerah asal itulah yang menyatukan kami.

“iya mas, pernah lihat kah?” jawabnya

“iya tadi waktu sholat maghrib saya lihat dia”

“sudah dapat kupon daging kurban cak” aku bertanya padanya, karena memang disini ketika mau mengambil daging kurban diwajibkan untuk membawa kupon. Ini menghindari adanya pembagian daging yang double.

“sudah mas, anaku tadi yang dapat pas ngaji. Katanya ustadznya sih biar makin semangat hehehe. Kalau begini bukan anaknya saja, tapi bapaknya juga semangat heheh” jawab paman penjual pentol sembari meringis menunjukkan giginya.

Disitu saya ikut tertawa menikmati keciriaanya yang setiap hari saya lihat tidak ada berkurang sedikitpun, dalam hati saya bertanya, inikah sebenarnya rasa syukur?

Saya kembali mencoba untuk bertanya padanya

“besok ikut sholat lebaran dimana cak?”

“Gak pernah ikut sholat saya mas, bahkan idul fitri juga gak pernah. Paling anak saya aja yang berangkat” jawabnya santai sembari menghisap sebatang rokoknya.

Disini saya menunjukkan ekspresi kaget sekaligus menyayangkan ini. Mengapa justru di hari tua, orang yang saya anggap penuh dengan rasa syukur ternyata tidak memperdulikan akhirat.

Jawaban dia membuat saya menyadari suatu hal

“yang wajib aja banyak yang gak mau datang mas hehehe, sampean tahu sholat jum’at kan? Sholat jum’at kan sama-sama hari raya bahkan wajib, itupun masih kosong masjidnya. Tapi yang sunnah, justru seolah-olah menjadi ajang perlombaan. Banyak orang yang ibadah Cuma ingin ngerasain ramenya tok mas, apa bedanya dengan tidak sholat jika tujuannya bukan untuk Tuhan?”

Saya terdiam, memang inilah faktanya. Untuk apa ibadah jika bukan karena untuk tuhan? Apa bedanya dengan mereka yang berdiam diri dirumah?

Sedikit banyak saya telah belajar pada malam ini, meskipun tidak semua bisa saya ambil sebagai manfaat, tapi setidaknya saya paham, bahwa masih ada orang yang sadar terhadap ibadah meskipun dia tidak melaksanakannya hari ini.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Sedih, Kak, kadang kita masih beribadah karena "seremoni" dan euforia, lalu lupa telah mengesampingkan ibadah wajibnya.

    BalasHapus
  2. Menyentuh sekali mas. Ngobrol ngobrol begini yang bisa menyadarkan dan menambah ketaatan

    BalasHapus

Comments